Catatan Asep Haryono
Tanggal 4 Oktober 2015 yang lalu adalah hari berduka bagi salah satu rekan saya di Potnianak Post, Robert Iskandar. Pada hari itu ibunda tercintanya, Clementine Caroline Cosaert wafat. Sebelumnya ayahnya Ronald Harun Rasyid juga sudah wafat. Saya dan beberapa rekan kerjanya dari berbagai divisi/departemen diPontianak Post datang melayat di rumah duka, rumah kediaman beliau, di Jalan Karimata Pontianak pada tanggal 6 Oktober 2015 yang lalu.
Melayat ke rumah orang yang sedang ditimpa musibah (wafat/meninggal) adalah hal yang sudah biasa dilakukan bagi sesama muslim. Namun bagaimana jika yang berduka atau yang sedang ditimpa musibah meninggal dunia itu dari penganut agama yang lain? Tentu saja tidak ada perbedaan bagi saya. Sebagai sesama umat manusia dan dari sisi persahabatan dan sisi kemanusiaan, saya sebagai salah satu rekan kerja dari keluarga yang berduka tentu datang melayatnya.
Bang Robert Iskandar adalah redaktur di Pontianak Post. Rekan kerja yang bertemu nyaris setiap hari. Berkumpul berseda gurau. makan gorengan , ngopi, singkatnya kawan ngumpul. Masa sih ada kawan kita, rekan kerja kita ditimpa musibah (Wafat ibundanya) kita tidak datang menjenguknya/melayatnya? Tidak perduli latar belakang keyakinannya, sebagai sahabat dan teman kami wajib datang
Namun demikian tentu ada batasan atai rambu rambu yang harus kita patuhi tentunya. Saya dan belasan rekan kerjanya, dan juga banyak pelayat lainnya berduyun duyun datang ke rumah duka yang kebetulan non muslim ini. Kami hadir di rumah duka sejak pukul 08.30 WIB pagi hari itu.
Jenazahnya sendiri dibawa secara konvoi dari rumah duka ke pemakaman STO Sui Ambawang kurang lebih 2 jam dari kota Pontianak. Seluruh rangkaian acara kami ikuti KECUALI pada saat pihak keluarga yang beduka mengadakan Misa atau doa menurut keyakinan mereka. Kami tidak ikut. Kami semua dari keluarga besar Pontianak Post turut berduka cita yang sedalam dalamnya atas wafatnya ibunda bangRobert Iskandar. Saya bisa memahami kesedihan beliau karena saya juga baru saja ditinggalkan ibunda pada tanggal 11 September 2015 yang lalu.
Bang Robert Iskandar masih bisa melihat wajah mendiang ibundanya untuk yang terakhir kalinya. Bisa mengantarnya hingga jenazah ibundanya dimakamkan. Beda dengan saya. Saya datang beberapa jam setelah almarhumah ibu saya dimakamkan 11 September 2015 yang lalu di Bekasi. Saya belum sempat melihat wajah Almarhumah ibu saya untuk terakhir kalinya. Saya tidak sempat mencium kening almarhumah ibunda saya untuk terakhir kalinya. Saya bisa merasakan kepedihan ditinggal orang tua, karena saya juga mengalaminya. Tabah ya bang Robert. (Asep Haryono).
Melayat ke rumah orang yang sedang ditimpa musibah (wafat/meninggal) adalah hal yang sudah biasa dilakukan bagi sesama muslim. Namun bagaimana jika yang berduka atau yang sedang ditimpa musibah meninggal dunia itu dari penganut agama yang lain? Tentu saja tidak ada perbedaan bagi saya. Sebagai sesama umat manusia dan dari sisi persahabatan dan sisi kemanusiaan, saya sebagai salah satu rekan kerja dari keluarga yang berduka tentu datang melayatnya.
ANGKUT : Jenasah mendiang ibunda Bang Robert Iskandar , sedang dimasukkan ke dalam mobil jenazah dan bergerak ke pemakaman di daerah sui Ambawang. Foto Asep Haryono. |
MISA : Saya tidak tau kegiatan apa ini. Apakah ini misa atau doa apa gitu. Dugaan saya adalah doa yang disampaikan dari pemimpin agama mereka. Kami kami yang Muslim berada di luar. Foto Asep Haryono. |
SEMAYAM : Jenasah mendiang ibunda Bang Robert Iskandar , saat disemayamkan di rumah duka di jalan Selat Karimata. Tidak tampak jelas fotonya ya. Foto Asep Haryono. |
Bang Robert Iskandar adalah redaktur di Pontianak Post. Rekan kerja yang bertemu nyaris setiap hari. Berkumpul berseda gurau. makan gorengan , ngopi, singkatnya kawan ngumpul. Masa sih ada kawan kita, rekan kerja kita ditimpa musibah (Wafat ibundanya) kita tidak datang menjenguknya/melayatnya? Tidak perduli latar belakang keyakinannya, sebagai sahabat dan teman kami wajib datang
Namun demikian tentu ada batasan atai rambu rambu yang harus kita patuhi tentunya. Saya dan belasan rekan kerjanya, dan juga banyak pelayat lainnya berduyun duyun datang ke rumah duka yang kebetulan non muslim ini. Kami hadir di rumah duka sejak pukul 08.30 WIB pagi hari itu.
Jenazahnya sendiri dibawa secara konvoi dari rumah duka ke pemakaman STO Sui Ambawang kurang lebih 2 jam dari kota Pontianak. Seluruh rangkaian acara kami ikuti KECUALI pada saat pihak keluarga yang beduka mengadakan Misa atau doa menurut keyakinan mereka. Kami tidak ikut. Kami semua dari keluarga besar Pontianak Post turut berduka cita yang sedalam dalamnya atas wafatnya ibunda bangRobert Iskandar. Saya bisa memahami kesedihan beliau karena saya juga baru saja ditinggalkan ibunda pada tanggal 11 September 2015 yang lalu.
Bang Robert Iskandar masih bisa melihat wajah mendiang ibundanya untuk yang terakhir kalinya. Bisa mengantarnya hingga jenazah ibundanya dimakamkan. Beda dengan saya. Saya datang beberapa jam setelah almarhumah ibu saya dimakamkan 11 September 2015 yang lalu di Bekasi. Saya belum sempat melihat wajah Almarhumah ibu saya untuk terakhir kalinya. Saya tidak sempat mencium kening almarhumah ibunda saya untuk terakhir kalinya. Saya bisa merasakan kepedihan ditinggal orang tua, karena saya juga mengalaminya. Tabah ya bang Robert. (Asep Haryono).