Gambar dari Internet
Hampir Gagal Berangkat Sampai Gunung Meletus
Catatan Asep Haryono

Mudik, satu kata yang amat lekat dengan budaya dan kebiasaan Indonesia saat ini memang masih menjadi harapan dan impian beribu ribu bahkan berjuta juta penduduk Indonesia di mana saja berada.   Tulisan ini adalah sekelumit pengalaman mudik kami sekeluarga ke Jogjakarta pada bulan Nopember 2010 lalu bisa menjadi catatan manis bagi kami sekeluarga yang tidak dapat kami lupakan.

Satu kata "mudik" sangat erat dihubungkan dengan tradisi merayakan hari raya lebaran di kampung halaman, dan ungkapan yang sering kita dengar "mudik lebaran" sudah sangat akrab di telinga kita. Kebiasaan mudik memang salah satu ciri paling Indonesia ini seakan mewabah dari pelosok pedesaan di tanah air hingga menjalar ke daerah perkotaan.

Mengapa bisa menjalar ke daerah Perkotaan? Dimana sebenarnya warga kota ingin mudik ke kampung halamannya. Sebenarnya susunan kalimatnya hanya dibalik balik saja karena ada sebagian warga yang justru "back to nature" atau kembali ke alam dalam artian mudik tidak selalu dipersepsikan ke sebuah desa atau luar kota melainkan mudik ke kota besar tempat mereka dilahirkan. Istilah "mudik kota" atau "mudik kampung" adalah dua kata yang pada prinsipnya adalah sama yakni mobilitas orang dan barang ke suatu tempat ke tempat lain dalam suatu kegiatan atau selebrasi

Petugas Check In Tidak Bisa Ditipu
Saya dan keluarga mudik lebaran pada tahun 2009 yang lalu, dan cukup banyak persiapan yang harus kami lakukan sebelum merencanakan untuk mudik di kampung halaman di Kulon Progo, Jogjakarta. Hal yang pertama yang menjadi pertimbangan kami sekeluarga adalah menyesuaikan jadual cuti antara saya dengan jadual mengajar istri agar terdapat kesamaan atau minimal tidak terpaut terlalu jauh.

Kebetulan saja saya mengajukan cuti untuk mudik kampung selama 6 (enam) hari dan begitu juga dengan masa liburan sekolah yang digawangi sang istri juga mendapat "free" beberapa hari hingga satu minggu lamanya, dan setelah jadual ini klop maka mulailah agenda mudik kampung disusun menurut skala prioritas mulai dari siapa saja yang akan diikutsertakan dalam mudik , agenda kegiatan apa saja yang akan dilakukan di lokasi mudik, buah tangan (oleh oleh) apa yang akan dibawa hingga kepada moda transportasi apa yang akan digunakan harus direncanakan dengan baik.

Belum lagi dengan kondisi sang istri yang hampir waktunya untuk melahirkan anak kami yang ke 2 saat itu yang juga memerlukan perhatian ekstra dan izin dari dokter yang merawatnya agar bisa terbang dengan menggunakan pesawat terbang.  Setelah izin di dapat dari dokter yang merawatnya, maka kami pun segera merumuskan hal hal urgent lainnya  tadi dan semuanya juga harus melalui tahapan diskusi dan bahasan mengingat persediaan dana yang juga harus dipikirkan bersama juga

Kami pun akhirnya bersiasat bagaimana caranya meloloskan putra kami yang tertua agar lolos dari pemeriksaan umur sehingga kami pun "terpaksa" memalsukan umur anak kami menjadi di bawah 22 bulan agar lolos dari harga dewasa (adult) yang biasa kami terima, dan biro travel yang kami pesan pun berhasil kami buat sedemikian rupa sehingga anak tertua kami, Abbie , melenggang begitu saja, dan 2 (dua) tiket pesawat udara jurusan Pontianak - Jogjakarta berhasil kami peroleh, dan anak tertua kami masuk dalam kelompok bayi (infant) dengan biaya murah tentu saja.

Kami pun bergegas dengan menumpang mobil kawan kantor, kami sekeluarga lengkap dengan barang bawaan kami mulai dari makanan ringan yang akan kami makan selama di perjalanan, oleh oleh yang akan dibagikan kepada sanak family di kampung, peralatan dokumentasi seperti kamera saku, sejumlah buku bacaan dan tentu saja uang yang memadai dan 2 (dua) tiket pesawat sudah lengkap semua.

Dan dari sinilah peristiwa yang membuat kami tersenyum senyum jika mengingat ingat kejadian di Bandara Supadio saat check ini terjadi. Sampai sekarang kami suka menerawang dan senyum sendiri jika mengingat peristiwa konyol saat check in di Bandara ini.  Ternyata pemalsuan umur di tiket akhirnya terdeteksi dan diketahui oleh petugas check in yang tidak percaya begitu saja saat saya menyerahkan 2 (tiket) saat check in.

"Mau kemana pak" tanya petugas check in Bandara Soepadio kepada saya saat menyerahkan 2 (dua) buah tiket kepadanya untuk dilakukan verifikasi sekaligus pemerikasan barang bawaan dan bagasi. "Ke Jogjakarta aja dua orang dan anak saya" kata saya dengan hati berdebar debar takut ketahuan kalau umur sang anak dibuat sedemikian rupa agar lolos dari tarif dewasa (adult). "Yang mana anaknya bapak, tolong bawa ke sini": kata petugas setengah tidak percaya kepada saya. "huaaaaaaaaa" kata saya dalam hati.  Dalam hati saya berkata "akhirnya ketahuan juga ya sudah pasrah".

Saya pun menyambar anak tertua kami, dan menggendongnya untuk memberi kesan sang anak memang masih "infant" dan ternyata fisik anak tertua kami memang agak besar sehingga makin menambah kecurigaan petugas (Security) yang membantu petugas check ini itu tadi. "Wah ini sih sudah besar pak" kata petugas serasa melihat saya menggendong anak saya.  "Bapak harus beli tiket lagi satu"  kata petugas check in , dan saya pun pasrah saja karenanya.  Bayangan tidak bisa mudik kampung hari itu membuncah dan hati saya bimbang melihat perut sang istri yang membesar dan berharap bisa melahirkan di Jogjakarta kelahirannya sedang duduk di bangku dalam Bandara.

TERBANG.  Istri saya sedang memberi susu botol kepada anak kami, Abbie, dalam penerbangan langsung dari Pontianak menuju Jogjakarta.  Foto Asep Haryono
"Gimana mas" kata sang istri berharap pemalsuan umur di tiket atas nama anak saya berhasil. "Nda bisa nih, kita harus beli tiket lagi tiket dewasa petugasnya jeli ya salah kita juga" kata saya tertunduk lemas.  Bingung juga rasanya saat itu karena jika harus batal berangkat tentu akan kena denda hampir 50 persen, dan yang lebih malu lagi karena sudah izin sama tetangga tetangga kalau hari itu akan mudik kampung.


Bagaimana kata mereka kalau hari itu batal berangkat, dan harus setting tanggal dilain waktu tentu akan banyak memakan waktu , tenaga dan juga uang.  Oleh oleh yang sudah ditangan dalam tas travel juga akan terbuang sia sia.

Tidak lama saya berpikir akhirnya saya menelpon rekan yang mengantar kami sampai ke bandara tadi yang kebetulan saja dia juga buka usaha travel dan tiket. Akhirnya mereka pun mengirim SMS kepada saya yang berisi kode booking.  Akhirnya kode tiket itu berhasil di print di loket di Bandara dan kami pun segera check in ke ruang tadi dan menyodorkan 3 (tiga) tiket dewasa kepada petugas check in tadi. "Ini mba tiketnya tiga buah dewasa" kata saya sambil sedikit terengah engah. "Ya pak terima kasih, biasa saja pak hal semacam ini sudah biasa bagi kami" terang petugas sambil memberi 3 boarding pass kepada kami, dan akhirnya kami pun terbang dengan damai.

Kena Lagi Gunung Meletus
Ini rumah kami menginap
Sesampainya di Bandara Adi Sutjipto Jogjakarta, saya sekeluarga pun sudah ditunggu oleh sanak dan kerabat dari pihak istri yang sudah menunggu dari 1 jam yang lalu dan dengan menggunakan mobil charteran kami pun di jemput mereka dan mobil pun bergerak dari bandar udara Adi Sutjipto menuju ke arah Kulon Progo yang bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih 1,5 jam itu. 

Dari kaca mobil saya sudah melihat asap mengepul seperti kereta api,  ya itulah asap putih keluar dari gunung Merapi.  Langit di sekitar Bandara Adi Sutjipto  saat itu masih cerah dan itulah hari terakhir Bandara Adi Sutjipto dibuka.

Sesampainya mobil kami dari Bandara, kami disambut dengan segala suka cita oleh pihak keluarga. Berbagai macam penganan khas dan sajian khas Jogjakarta dan ada juga yang masakan rumah disajikan kepada kami sekeluarga yang memang sudah merasa lapar sejak di dalam pesawat tadi.  Kami pun dengan lahap menyantap hidangan yang dimasak oleh pihak keluarga begitu juga dengan anak kami, Abbie, yang juga makan sambil bermain namanya juga anak anak.  

Tepat satu hari setelah kami sampai di rumah di desa Kulon Progo, Jogjakarta, malam harinya kami sekeluarga menginap di rumah orang tua istri dan pada waktu menunjukkan pukul 21.00 WIB saya rasakan ada butiran pasir menerpa genteng rumah dan terasa makin berisik.  Hari itu, Gunung Merapi meletus hebat dan menyebabkan banyak abu vulkanik di pagi harinya.  Saya lihat berbagai macam pohon terkena abu dan juga atap atap rumah kami dan rumah tetangga juga tidak luput dari amukan abu yang dimuntahkan oleh Gunung Merapi.

DEBU : Pohon pisang di depan rumah kami yang penuh tertutup debu.  Foto Asep Haryono

JALAN DEBU : Hampir seluruh sudut kota Kulon Progo diliputi debu juga jalanan. Foto Asep Haryono

Dalam catatan saya menyebutkan bahwa Gunung Merapi meletus hebat pada tanggal 5 Nopember 2010 dan ini juga menyebabkan bandara Adi Sutjiptoditutup hingga beberapa kali sehingga "misi" saya yang pawal awalnya hanya mudik kampung mengantar sang istri untuk melahirkan di Jogjakarta hanya butuh 2 atau 3 hari saja sesuai dengan "jatah" cuti saya dari kantor meleset jauh hingga 2 minggu lamanya karena Bandara Adi Sutjipto tertutup debu, dan pihak Angkasa Pura membatalkan semua penerbangan baik yang datang maupun ke luar dari kota Jogjakarta.

Masa menunggu sampai Bandara Adi Sutjiptodi buka kembali seperti biasa, saya manfaatkan untuk melakukan traveling , shopping dan juga wisata kuliner bersama keluarga di berbagai tempat di sekitar Jogjakarta dengan menggunakan kendaraan roda dua, mobil angkutan umum hingga naik taksi segala.  Naik taksi bukan untuk bergaya yang bagi sebagian warga Kulon Progo adalah hal yang istimewa, namun lebih dikarenakan kami pulang travel kemalaman hingga tidak ada lagi angkutan umu jadilah kami menyewa sang taksi itu tadi.

SHOPPING :  Sang istri yang sedang hamil sedang membeli di pasar Dekso Kalibawang (Nopember 2010).  Foto Asep Haryono

GEBLEG GORENG : Penganan khas Kulon Progo yang amat saya gandrungi juga tidak luput saya beli. Foto Asep Haryono

BELUT GORENG :   Cari oleh oleh khas Jogjakarta juga bisa diperoleh di pasar Godean ini dan berbagai macam kuliner dan juga belut goreng yang terkenal itu ada di sini.  Foto Asep Haryono

Mulailah kami sekeluarga berwisata kuliner dan shopping di berbagai tempat muali dari merambah di pasar Dekso Kalibawang Kulon Progo yang juga berdekatan dengan Posko Pengungsi Merapi, kami pun merambah hingga ke pasar Godean untuk membeli beberapa kilo Belut Goreng yang terkenal itu.   Beberapa souvenir lain juga kami bawa yang pada umumnya berbentuk penganan atau makanan seperti Bakpia, dan juga Gebleg Goreng yang menurut saya pribadi sangat unik cita rasanya. "Kalau saya makan rasanya seperti makan pempek Palembang yang terkenal itu karena gurih rasanya, dan juga unik teksturnya yang alot kenyal gitu" celoteh saya kepada keluarga.

Akhirnya sampailah pada batas kesabaran saya untuk tidak lagi bergantung kepada Bandara Adi Sutjipto sebagai titik kembali saya dari Jogjakarta menuju Pontianak karena batas 2 (dua) minggu dari yang seharusnya izin cuti 3 (tiga) hari menjadi pertimbangan saya walaupun kantor saya di Pontianak sudah memberikan izin selama yang diperlukan dengan alasan bencana alam. 

Pihak Angkasa Pura Bandara Adi Sutjipto pun masih menutup penerbangan karena kabut masih tebal dan sangat berbahaya bagi penerbangan dari dan keluar kota Jogjakarta.  Saya pun diberitahu pihak travel setempat untuk bisa menukar jadual lain atau menukar uang kembali (reimburse), dan saya pun memutuskan untuk menguangkan kembali dan pulang ke Pontianak melalui Bandara Soekarno Hatta Jakarta.

Saya memutuskan untuk segera kembali bekerja di Pontianak, dan saya pun harus pulang ke Pontianak dari kota Jakarta.  Saya pun membeli tiket bis dari Jogjakarta ke Jakarta, dan pulang hari itu juga dan dari Jakarta tersebut itulah saya langsung terbang ke Bandara Supadio Pontianak. 

Dari pengalaman mudik kampung inilah yang sangat berkesan bagi saya pribadi, dan juga sekeluarga yang masih kami simpan dengan baik foto foto yang berhasil kami jepret saat mudik kampung ke Jogjakarta bulan Nopember 2010 yang lalu.  Beberapa video sebenarnya juga berhasil saya buat selama mudik kampung itu, dan semuanya tersimpan dengan baik sampai sekarang.  Mudik kampung yang sangat berkesan bagi saya sekeluarga.  Menyenangkan dan kadang membuat saya tersenyum setiap kali membuka album kenangan itu. (Asep Haryono)  








Tulisan ini diikut sertakan dalam lomba Blog Paling Indonesia yang diselenggarakan oleh Komunitas Blogger Makasar,i AngingMammiri.org bekerjasama dengan Telkomsel area SUMALPUA ( Sulawesi Maluku Papua ) menggelar lomba blog dalam rangka ulang tahun ke 17 Telkomsel dengan tema Paling Indonesia
Foto atau Gambar  dari Internet
Jarak Warung Internet Dengan User /Customer (Distance)
Bagian kedua dari 5 tulisan Pendek
Oleh Asep Haryono

Dalam tulisan sebelumnya sudah saya paparkan secara sederhana dan singkat saja mengenai pengelolaan warung Internet yakni dengan cara memanjakan user atau calon konsumen warung internet kita dengan fasilitas (Facility) yang memadai, atau minimal standar.

Adapun maksud dan tujuannya tidak lain dan tidak bukan adalah membuat nyaman dan betah para user warung internet kita, dan membuat mereka datang dan datang lagi sehingga dengan demikian warnet kita akan menjadi tempat tetapnya.

Persaingan dengan warung internet di tempat lain tentu tidak dapat dihindakan, dan bahkan sampai sekarang pun disinyalir persaingan tersebut semakin frontal dengan ditawarkannya berbagai macam fasilitas yang agak tidak biasa semata mata hanya untuk menarik konsumen untuk datang ke warung internetnya.

Berbagai macam perusahaan yang menyediakan jasa internet cepat ramai ramai di usung oleh berbagai macam provider (saya tidak sebutkan merek atau namanya demi menghindari polemik-red) lengkap paket harga di tawarkan kepada para pengusaha warnet di kota Pontianak dan kota kota lainnya di Seluruh Kalimantan Barat.

Adanya akses internet yang mudah dan mobile disajikan di Handphone, Smarphone, BB (bukan Bau Badan-red), dan berbagai gadget canggih lainnya sekarang ini juga merupakan “lawan baru” bagi para pengusaha warnet.

Padahal peluang untuk berkembang dan mengembangkan warung internet kini sudah tidak bisa lagi dengan hanya mengandalkan akses internet saja bagi para usersnya, dan terdapat 5 faktor (berdasarkan pengalaman-red) dalam menentukan tingkat keberhasilan pemasaran warnet/

Ada banyak factor di sini, dan disamping factor teknis dan non teknis lainnya yang tidak bisa dikesampingkan begitu saja seperti biaya operasional (sumber daya manusia- biaya gaji karyawannya-red) , Biaya Listrik, Biaya fax (Jika ada), biaya langganan akses internet, serta biaya taktis jika mengalami kerusakan, yang sudah pasti akan menimbulkan cost dibagian perawatan (maintenance).

Nah agar tidak terlalu melebar kemana mana bahasan kita, baiklah sengaja saya lanjutkan postingan tentang manajemen pengelolaan warung internet (berdasarkan pengalaman saya tentunya-red) di bagian paruh kedua kali ini adalah mengenai factor Jarak (distance). Nah dari judulnya saja sudah jelas terbayang di benak kawan kawan semua mau dibawa kemana arah cerita saya kali ini, ya sudah pasti jarak dalam artian jarak fisik antara lokasi warung internet kawan kawan dengan user atau calon konsumennya.


Lokasi Strategis: Suatu telaah
Pengalaman saya bertugas di 3 (tiga) warung internet di 3 (tiga) kota yang berbeda yakni Pontianak, Singkawang dan Sintang di propinsi Kalimantan Barat yang sudah saya lakoni dari periode tahun 2000-2002 memang unik dan berbeda beda antara satu warnet dengan warnet yang lainnya. Prinsip dasar adalah letak dan posisi bangunan warung internet kita yang dipinggir jalan konon diyakini banyak pengusaha warnet amat menguntungkan.

Salah satu indikatornya adalah kemudahan untuk mencapai lokasi warnet tersebut bisa diperoleh oleh masyarakat luas para pemakai warung internet yang dalam hal ini saya sebut saja dengan user untuk lebih memudahkan menghafalnya.

User atau calon konsumen warnet kawan kawan adalah unik, dan kita sebagai pengusaha warnet tidak bsia menjeneralisasikan bahwa mereka punya kendaraan sendiri, baik kendaraan roda dua maupun roda yang tidak dua. Bahkan ada user yang datang ke warnet menggunakan sepeda dan ada yang berjalan kaki saking dekatnya warnet dengan mereka.

User atau calon konsumen bisa saja tidak punya kendaraan sendiri, dan untuk itu mereka harus mencari warung internet yang terdekat dengan lokasi rumahnya dan bisa dicapai dengan menggunakan moda transportasi massal atau umum misalnya BIS, angkot, becak, Taksi, bahkan ojeg sekalipun.

Akses warnet yang dipinggir jalan umum yang biasa dilalui kendaraan angkuran umum diyakini banyak orang sebagai kawasan yang amat menguntungkan dari sisi bisnis. Tapi persoalan akan timbul ke permukaan jika warnet kita berada di dalam sebuah kawasan , dipelosok bahkan di daerah terpencil dimana akses kendaraan umum tidak bisa dilakukan , diadakan atau disediakan. Nah bagaimana mengatasi hal semacam ini?

Jika logika sederhana ini saya balik ke awal, maka penentuan lokasi warnet yang sudah jadi atau sudah ada dari dulunya (atau takdir warnet kawan kawan sudah di sana lokasinya) maka kendala jarak sudah tidak lagi menjadi persoalan tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku. Misalnya saja akses ke warnet kawan kawan sudah dibangun jalan umum atau jalur kendaraan umum maka persoalan jarak antara warnet anda dengan calon konsumen sudah bisa di atasi.

Pengalaman saya bertugas di 3 (tiga) warung internet di 3 (tiga) kota yang berbeda yakni Pontianak, Singkawang dan Sintang di propinsi Kalimantan Barat rata rata berada di kawasan pinggir jalan dimana akses kendaraan umum sangat mudah. Hal ini bisa saja tidak terjadi bagi warnet yang kawan kawan kelola sekarang ini. Lantas apa solusi yang bisa ditawarkan jika warnet yang kita kelola ini lokasinya terpencil atau akses kendaraan umumnya susah diperoleh?

Saya menawarkan solusi versi Asep Haryono tentunya. Pendapat saya saja yang bisa saja keliru atau kurang tepat. Namanya juga pendapat khan bisa saja berbeda dengan pendapat dan ide kawan kawan. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar tentunya bukan? Jadi kita sepakati dahulu hal yang satu ini.

Nah menurut pendapat saya lokasi warung internet yang kita kelola diusahakan di pinggir jalan yang bisa dilalui oleh kendaraan umum DAN ATAU berada di daerah yang dilintasi oleh jalur kendaraan umum ATAU tidak jauh dari jalur kendaraan Umum. Ini pendapat saya. Kalaupun lokasi warnet kita tidak persis di pinggir jalan, minimal user atau calon konsumen tidak harus berjalan terlalu jauh untuk bisa mencapai warnet kita. Itu saja solusi dari saya.

Dari sisi user atau calon konsumen, mereka cenderung menyukai lokasi warnet yang tidak jauh atau tidak terlalu jauh dari tempat tinggalnya walau ini masih bisa dipatahkan dengan adanya transportasi umum (bis, angkot, taksi, ojek) dan atau menggunakan kendaraan user sendiri untuk mencapainya. Sejauh apa pun warnet (Asal jangan jauh jauh amat seperti antar kota hehehe-red), kaum user atau konsumen masih bisa mencapainya baik kendaraan umum maupun pribadi .(Asep Haryono)


Bersambung - To be Continued

Bandara Supadio Pontianak From Bali With Love Selfie Dengan Selebritis
| Copyright © 2013 Asep Haryono Personal Blog From Indonesia