Dear blog. Kemarin hari Selasa, 18 Oktober 2012 saya membaca postingan sebuah blog dari rekan saya Dini The Kupu yang berisi dan berjudul Saling Mengingatkan yang menurut saya artikelnya cukup menarik dan substansi dari tulisan beliau itu adalah agar kita saling ingat mengingatkan. Dalam timeline diblognya yang penuh gambar kupu kupu yang menjadi ciri khasnya itu, saya dan the Kupu sudah sepakat dalam satu hal yakni untuk saling ingat mengingatkan dalam hal kebaikan, dan sindir menyindir sebaiknya dihindari karena lebih cenderung mengarah kepada pribadi dan bersifat personal yang berpotensi menimbulkan rasa sakit hati yang mendengarnya.

Hal ini memang bisa dimaklumi karena perasaan setiap orang tidak sama, dan setiap orang berhak menyatakan pendapatnya terhadap suatu perlakuan atau aksi orang lain terhadapnya. Seperti yang sudah saya tulisa dalam berbagai kesempatan bahwa kita memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan. Jadi jika menyakiti orang lain dengan kata kata yang kualitatif serta tajam, maka perasaan orang itu akan tidak senang dan bisa terluka serta sakit hati. Nah begitupula jika kita juga diperlakukan hal yang sama dari orang lain. Kebenaran yang menjadi substansi di sini adalah hal yang harus kita cermati dengan baik. Budaya dan watak orang Indonesia atau budaya timur pada umumnya kuran bisa "menerima" sindiran yang bersifat ekstrim, kasar dan kualitatif.

Kebenaran adalah Raja
Dalam tulisan ini saya coba menuliskan tema "Disindir VS Diingatkan" yang saya dapatkan idenya dari tulisan the Kupu itu. Menarik memang karena substansinya sama yakni saling mengingatkan. Hanya saja dalam hal bentuknya yang berbeda dan kemasannya juga beda. Disindir berarti kita diingatkan akan sesuatu yang tidak dilakukan orang lain yang menurut pendapatnya harus dan sebaiknya dilakukan. Sindiran baik secara halus maupun kasar adalah bentuk perhatian yang diberikan orang lain terhadap kita atas sesuatu yang menurut pendapatanya belum atau tidak kita lakukan.

Persoalannya di sini adalah "pesan" yang dimaksud dalam kalimat sindiran halus atau kasar itu karena kita tidak bisa menjamin apakah substansi pesan sindiran itu mengandung kebenaran atau bersifat personal menyerang pribadi orang lain. Ini yang harus kita samakan dahulu persepsinya. Contoh sudah banyak. Yang paling mudah adalah dengan menggambarkan aksi demo demo rakyat terhadap pemerintah, nah demo demo yang dilakukan di jalan jalan itu juga kadang mengusung sindiran secara halus atau kasar baik secara sporadis dengan aksi yang cenderung anarkis atau aksi seni teatrikal yang pada intinya menyindir pemerintah yang sedang berkuasa. Substansi demo demo ini adalah menyoroti kebijakan pemerintah yang cendrung tidak memperhatikan kesejahteraan rakyat. Sindiran yang dilancarkan tersebut baik secara halus maupun kasar diterima oleh masyarakat karena dianggap "mewakili" perasaan berjuta juta rakyat Indonesia. Substansi sindirannya mengandung kebenaran. Sindiran sindiran semacam ini lebih diterima oleh masyarakat dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat yang merasa "terwakili" pendapatnya oleh aksi aksi mereka.

Walaupun kebenaran adalah raja, persoalannya disini adalah budaya yang bersinggungan dengan kebiasaan atau norma yang berlaku di masyarakat ketimuran kita. Orang cencerung tidak senang jika disindir oleh orang lain, dan memang sindiran yang dimaksud cenderung lebih mengarah kepada serangan terhadap individu atau bersifat personal. Kadang kala hal hal semafcam ini juga sebagai akibat dan kata kata yang kita ucapkan sendiri yang memicu ketersinggungan oleh orang lain yang merasa merupakan "bagian" dari serangannya itu. Ada seorang rekan facebook saya (saya rahasiakan namanya-red) yang memposting di statusnya bahwa masalah Patok adalah hal yang tidak perlu diributkan karena sudah ada titik koordinat yang tidak mungkin bergeser atau berpindah. Menurutnya patok tidak perlu dimasalahkan walaupun hilang sekalipun karena sudah ada peta koordinat yang tetap. Dia menyorot media media di Jakarta yang lebih meributkan soal patok dan bukan substansi koordinatnya yang sudah ada dan bersifat tetap dan dia menyatakan kualitas media tersebut sudah terlihat dari hal hal yang tidak substansial tapi terus diributkan.

Sontak stattemen FBnya itu mendapat reaksi yang keras dari timeline orang lain yang merasa "tersinggung" oleh staemen terakhirnya itu. Banyak yang menuding statemennya cenderung menyamaratakan semua awak media yang dia tuding "keliatan kualitasnya" sehingga akhirnya terjadi polemik baru yang sudah melebar kemana mana hingga pada akhirnya mengarah kepada pernyataan sindir menyindir dan menyerang kepada individu dan pribadi sang penulis. Hmm nah ini adalah contoh sederhana "pertarungan debat kusir" *(kalau boleh saya sebut demikian-red) yang terjadi di dunia maya. Mengapa bisa terjadi hal seperti ini. Bukankah beda pendapat adalah hal yang wajar tentunya bukan, dan itulah yang dinamakan demokrasi yang memang semestinya kita jaga aturan mainnya bersama sama agar tidak kebablasan.

Mulutmu adalah harimau mu kata pepatah. Jadi hal yang wajar wajar saja jika ada orang yang tidak terima atas statemen yang kita buat, perkataan yang kita ucapkan atau perbuatan yang kita lakukan yang memang tidak disengaja untuk menyindir orang lain. Kebenaran adalah raja, namun demikian kebenaran harus disikapi dengan bijaksana agar pesan kebenaran yang dimaksud bisa diterima oleh orang lain. Ini bukan hal yang mudah karena setiap orang mempunyai tingkat sensifitas yang berbeda beda antara satu dengan yang lainnya. Hal yang remeh remeh saja menurut kita bisa berakibat fatal jika menyinggung orang lain yang menurutnya hal remeh anggapan kita itu adalah hal yang serius bagi orang lain. Kita tidak mungkin melarang orang lain marah kepada kita, karena marah adalah hak orang lain sebagaiman kita tidak mungkin melarang orang lain menyatakan pendapatnya. Sekali lagi pendapat adalah hak kita semua, maka jadikanlah kebenaran adalah raja yang adil. Adil dalam memberikan penafsiran yang sama bagi setiap orang sehingga bisa diterima sebagai sebuah kebenaran bersama.

Bagian Penutup
Sebagai akhir dan penutup dari tulisan saya yang berjudul "disindir atau diingatkan" di sini adalah bahwa budaya ketimuran orang Indonesia masih belum bisa menerima sindiran keras atau sindiran kasar apalagi bersifat kualitatif walaupun substansi kebenarannya bersifat umum dan jeneral. Orang cenderung tidak bisa menerima makian, cacian, cercaan, dan sumpah serapah dari orang lain yang bisa memicu kepada aksi aksi yang lebih ekstrim dari pihak lain. Jika orang tidak terima atas perlakuan orang lain bisa berimpak pada persoalan hukum dimana orang bisa mengadukan masalah ini kepada aparat penegak hukum dengan delik aduan perbuatan tidak menyenangkan.

Kita tidak mau mengalami hal ini bukan?. SIndiran apapun yang kita maksudnkan kepada orang lain, dan orang lain tau bahwa sindiran itu ditujukan kepadanya bisa melakukan hal hal yang tidak kita inginkan. Jangan jangan deh. Maksud kita tentunya baik dengan mengingkatkan orang lain terhadap sesuatu kebaikan, atau bahkan maksud baik kita dengan melancarkan sindiran halus atau kasar kadang tidak berjalan mulus bagi orang lain. Maksud baik kita tidak selalu diterima positif oleh masyarakat. Baiknya atau benarnya saja kita masih disalahkan oleh Masyarakat. Itulah seninya bergaul dimasyarakat kita yang majemuk dan berbeda beda karakternya. Seperti yang sudah saya bahas di atas bahwa diingatkan atau disindir sebenarnya mempunyai makna hakiki yang sama yakni mengandung kebenaran. Hanya saja perbedaan mendasarnya adalah kebenaran yang dimaksud itu tidak selalu kebenaran jeneral dan bersifat umum namun cenderung kepada apa yang menurut si penyindir itu benar. Ini yang keliru. Berbuatlah hal yang benar dan mengandung kebenaran, dan bukan menurut anda benar. Kalaw yang terakhir ini kita jadikan patokan akan semakin kacaw dunia ini karena masing masing melakukan justifikasi atau pembenaran masing masing.

Keep up the good work
Bandara Supadio Pontianak From Bali With Love Selfie Dengan Selebritis
| Copyright © 2013 Asep Haryono Personal Blog From Indonesia