Seiring dengan situasi keuangan global akhir-akhir ini, bidang keuangan yang sangat mendominasi dalam kehidupan sekarang adalah hutang. Banyak orang yang terjerumus dalam hutang dan tidak mampu untuk membayarnya. Membayar hutang itu menyangkut kehormatan dan integritas pribadi. Kejujuran dan tidak membuat janji-janji yang tidak mungkin dipenuhi, sangat baik dilakukan dalam mencari jalan pemecahan keluar dari belenggu hutang. Tidak ada hutang yang tidak bisa dibayar kalau berdisiplin, berkemauan keras, tekun dan bekerja keras, mengerti tekniknya, Serta percaya akan penyertaanNya.

Disini saya tidak membahas mengenai bagaimana mengatur keuangan yang bijak dalam kehidupan pribadi dan keluarga, seperti yang sudah banyak ditulis oleh para ahli keuangan. Dalam tulisan saya ini saya coba tulis dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, memberi solusi bagaimana seseorang yang sudah terjerumus dalam jerat hutang menjadi bebas, bisa melunasi semua hutang-hutangnya, dan kembali bisa menata keuangannya.

Serba Menyiasati Sana Sini
Begitu juga dengan pengaturan pola keuangan kami yang masih amburadul. Memang kata orang sekilas kami "makmur" karena ada dua lokomotif yang berpacu mencari penghasilan. Dalam artian kedua orangtuanya bekerja. Nah dalam kacamata para tetangga, dan penilaian orang lain tentu bagus bagus saja. Wah enak ya keluarga si fulan ayah dan ibunya sama sama bekerja, wah tentu uangnya pasti banyak. Begitulah kira kira penilaian orang atau tetangga kepada kami sekeluarga. Saya mendengar seperti itu hanya tersenyum saja, dan mengucapkan "Alhamdulillah" atau "amin" saja.

Padahal kenyataan di lapangan memang tidak seindah kata orang. Memang secara logika dengan dua orang yang sama sama bekerja, kemungkinan bertambahnya pendapatan dan penghasilan keluarga jauh lebih cepat. Namun hukum alam juga berlaku. Konon stigma di masyarakat kita pada umumnya sering terjadi , semakin besar pendapatan biasanya diikuti dengan semakin besarnya pengeluaran. Besar penghasilan yang kami peroleh bersama sama (karena saya dan istri sama sama bekerja-red), namun pengeluaran dan kebutuan sehari sehari dan perbulan kami juga tidak kalah "sombong"nya dengan pendapatan kami yang "ramah lingkungan". Wah kok bisa di sebut "ramah lingkungan" sih.

Ya yang saya maksud "ramah lingkungan" karena pada saat sang uang datang dari penghasilan rutin kami setiap bulannya dalam bentuk gaji selalu saja lewat. Selalu saja numpang lewat. Begitu datang , maka uang yang kami dapatkan dengan susah payah itu harus keluar lagi dalam bentuk pos pos dana rutin setiap bulannya yang harus kami keluarkan mau tidak mau, atau suka tidak suka, dana itu harus keluar.

Misalnya anggaran untuk membeli beras, minyak tanah, gula pasari, dan segala tetek bengek urusan dapur seperti bawang merah, dan lain sebagainya. Juga pengeluaran utama keluarga seperti membayar tagihan (Listrik, PDAM) dan juga cicilan hutang kami di sebuah bank Nasional karena kami meminjam dana kepadanya karena urusan mendesak. Untuk susu anak saja (kami memiliki dua orang anak, satu bersekolah di Playgroup, dan satu lagi masih bayi-red) dan jasa pengasuhan mereka berdua saja sudah melewati angka 1 Juta setiap bulannya. Nah bisa dibayangkan betapa luar biasanya pengeluaran rutin bulanan keluarga kami. Belum lagi biaya sekolah SPP anak kami yang pertama sekitar 250 ribu rupiah dan harus dibayarkan tepat pada waktunya dan jangan sampai terlambat. Nah dengan demikian angka gaji yang kami terima setiap bulannya kadang selalu saja pas, dan sangat sedikit dana yang tersedia untuk disisihkan ke pos tabungan bahkan kadang nyaris tidak ada.

Hampir kami tidak punya dana lebih untuk dialihkan ke pos tabungan. Banyak pakar keuangan keluarga mengatakan bahwa pos tabungan seharusnya dijadikan "pengeluaran" keluarga. Ini harus dilakukan. Dengan menganggap tabungan sebagai "pengeluaran" , maka kita akan dipaksa untuk menabung. Ini baik sebenarnya, tapi kami ini ngaco, selalu saja hal itu belum dilakukan secara optimal. Mengapa ya?. Inilah pertanyaan yang kami sendiri pun kadang agak susah untuk menjawabnya. Sepertinya kami perlu jasa pengelolaan keuangan nih. Apa bisa?

Jadi kami harus pandai pandai "bersilat" maupun "siasat menyiasati" keuangan yang ada. Dana yang kami peroleh dari penghasilan tambahan di luar gaji kadang digunakan untuk menutup hutang dan sebagian lagi diwujudkan dalam bentuk barang. Sebab saya dan istri kadang berpikir bahwa uang itu licin, karena bisa "tergelincir" digunakan untuk keperluan lain yang diluar perencanaan walaupun sama pentingnya. Ini kan tidak betul. Kadang konsistensi dalam menangani keuangan perlu keteguhan hati kita juga. Misalnya saja dana yang sudah disiapkan untuk membeli blender karena bisa digunakan buat membuat bubur bayi, jangan digunakan untuk membayar tagihan listrik walau kepentingannya sama, atau bermuatan penting yang sama. Inilah yang saya maksud dengan konsistensi keuangan. Ini yang kadang kami lupa. Konsistensi inilah yang kadang juga menjadi bumerang bagi kami sekeluarga karena dana yang seharusnya disiapkan untuk keperluan A menjadi teralirkan untuk keperluan B. Walhasil dana buat A menjadi "bolong" dan terpaksa untuk menutupinya mengambil dari POS lain yang juga tidak kalah pentingnya.

Jangan Berhutang Jika Tidak Terpaksa
Jadi dengan demikian dari uraian njelimet dan membingunkan di atas pemecahannya ada 2 (dua). Ini kata perencana keuangan Safir Senduk yang sering menjadi rujukan kami sekeluarga dalam mengelola keuangan. Kedua pemecahan keuangan keluarga yang kami jadikan patokan untuk menyelesaikan masalah keuangan keluarga kami adalah.
  1. Memperbesar Pendapatan.
    Solusi pertama adalah memperbesar pendapatan keluarga. Untuk mengandalkan gaji saja sudah pasti tidak akan cukup. Oleh karena itu penghasilan tambahan harus dilakukan jika pengeluaran keluarga juga semakin besar setiap bulannya sesuai dengan hukum ekenomi. Dengan demikian pengeluaran keluarga harus dibuat menjadi jauh lebih kecil dari pendapatan. Dengan demikian akan ada pos sisa anggaran dan itu bisa dialihkan menjadi pos tabungan. Cara memperbesar pendapatan adalah dengan memberikan les tambahan atau juga membuat terobosan lain yang bersifat memancing pendapatan atau uang masuk buat keluarga. Berapa pun pemasukan dari tambahan akan sangat bermanfaat baik secara mental maupun secara ekonomi. Dari segi mental, kami akan lebih yakin dan menatap masa depan dengan penuh wibawa karena bisa menekan pengeluaran dan memperbesar pendapat.

  2. Memperkecil Pengeluaran.
    Solusi kedua adalah dengan memperkecil pengeluaran. Jika penghasilan tambahan belum bisa dilakukan maka cara lainnya adalah "memangkas" pengeluaran yang tidak perlu. Anggaran belanja keluarga yang penting namun tidak perlu sebaiknya kami tinggalkan. Ini mutlak dilakukan jika kami tidak megap megap di pertengahan bulan atau sebelum bulan berakhir kita sudah kolaps duluan mencari utangan baru. Pengeluaran setiap bulan sudah pasti ada dan selalu akan ada sesuai dengan kebutuhan hidup manusia yang terus menerus ada dan bervariasi setiap saat. Pengeluaran memang tidak dapat dicegah sesuai dengan hukum ekonomi yang berlaku, namun pengeluaran itu sebenarnya bisa ditekan jika kita sadar akan prioritas mana yang harus diutamakan dan mana yang harus ditunda bahkan kalaw perlu dipangkas habis sampai tuntas tas.
Salah satu "musuh" terbesar kami berdua adalah "dahaga" nya kami terhadap keinginan keinginan yang terpendam jika ada uang. Kadang penghasilan tambahan dari klien website saya misalnya jika sudah diperoleh pasti keinginan ini itu membuncah, dan perlu segera dieksekusi. Misalnya saja pasca kemalingan awal Mei 2011 lalu, saya ingin sekali punya HP Baru menggantikan HP jadul yang sudah lama. Padahal kalau dipikir pikir dengan HP sederhana pun masih bisa dipakai untuk komunikasi. Mengapa pula saya harus ikut terpengaruh oleh iklan bersliweran untuk punya HP baru walaupun berharga murah. Inilah yang namanya contoh penyakit lama kami yang kadan muncul tiba tiba. Maka wajar setiap kali dapat dana dari klien selalu saja habis sampai sampai kami bengong kok cepat habis ya.

Nah jadi dengan demikian salah satu unsur yang bisa memecahkan kebuntuan keuangan keluarga yang kami anggap paling jitu adalah mencari penghasilan tambahan. Kata orang pontianak cari can tepi. Hehhee. Walaupun saya dan istri bukan orang Pontianak, namun kota Pontianak sudah menjadi bagian dari hidup kami, dan kami menganggap ini adalah "tanah air" kami yang kedua selain Pulau Jawa yang merupakan asal kami berdua.

Bayangkan saja sejak tahun 1990 saya sudah menginjakkan kami di bumi Khatulistiwa ini, dan jika dihitung dengan periode sekarang maka lebih kurang 21 (dua puluh satu) tahun saya di Pontianak ini. Nah sudah tentu saya sudah di "naturalisasi" alias sudah menjadi warga Pontianak dibuktikan dengan KTP Pontianak kami berdua. LOh obrolan blog saya malah lari ke arah naturalis sih hehehe. Kok jadi melenceng dari tujuan semua soal penanganan keuangan keluarga. Hehehehe. Yang Jelas saya harus bijak dalam soal keuangan Keluarga. Satu hal yang pasti akan terus semangat mencari tambahan penghasilan lain yang halal dan berkah buat keluarga. Amin Ya Robbal Alamin

Jangan BerhUtang Kalaw tidak terpaksa

Bandara Supadio Pontianak From Bali With Love Selfie Dengan Selebritis
| Copyright © 2013 Asep Haryono Personal Blog From Indonesia