Dalam kehidupan sehari hari kita tidak akan pernah terlepas dari interaksi kita dengan orang lain. Hubungan interpersonal kita dengan orang lain amatlah mutlak diperlukan untuk menghindari kebuntuan dalam pergaulan.

Perang dingin yang biasa terjadi itu bisa dimungkinkan oleh berbagai faktor. Faktor yang ada dalam diri sendiri maupun faktor dalam diri orang lain. Tren ini semakin menguat selain karena adanya kepentingan pribadi atau kelompok yang semakin menguat. Ketidakperdulian terhadap kelompok minoritas semakin kental karena dianggapnya tidak memberikan kontribusi atau benefit bagi mereka. Apakah yang sebenarnya yang terjadi?.

Mengapa diantara kita tidak saling menyapa dan membuka diri untuk terciptanya sebuah dialog untuk mengakhiri kebuntuan ini? Sikap acuh tak acuh yang diperlihatkan diantara kita sebenarnya bermula dari hal yang sederhana. Namun karena hal yang sederhana dan tidak prinsip itulah sering membuat jarak yang teramat jauh. Faktor Gengsi juga berperan sangat kuat di sini.

Gengsi tidak mau belajar dari yang lebih berpengalaman, atau gengsi tidak mau menerima kritikan dari bawahan karena dianggapnya kritik bisa berpotensi menghancurkan kredibilitas, integritas dan sisi karakternya. Segitunya kah? Kritik tidak sama dengan menghina. Kritik konstruktif biasanya disertai dengan koreksi dan perbaikan sesuai dengan hukum atau kaidah yang berlaku. Sedangkan penginaan adalah perbuatan tidak terpuji yang pada kadar tertentu bisa dituntut karena masuk dalam katagori perbuatan tidak menyenangkan.

Perbedaan KepentinganDiremehkan orang sudah merupakan makanan saya sehari hari dan itu sangat menyehatkan diri saya sendiri. Kenapa saya mengatakan demikian karena saya menganggap hal itu sebagai energi positif dalam diri untuk terus memperbaiki diri dan meningkatkan kemampuan diri agar orang tidak lagi meremehkan diri ini. Saya tidak menyalahkan mereka bersikap demikian. Apapun itu merupakan hak mereka mengatakannya atau tidak. Ucapan verbal memang tidak pernah terucap. Namun sebagai orang yang kebetulan berasal dari kultur Jawa yang memang sudah dikenal memilki perasaan halus, gerak gerik seseorang yang tidak senang atau kurang senang bisa saya rasakan. Bagi saya itu tidak ada masalah.

Sebagai profesional, saya selalu membedakan yang mana urusan yang menyangkut kepentingan pribadi dengan urusan yang bersifat kedinasan. Tidak etis jika mencampurkan antara urusan pribadi dengan urusan kedinasan karena akan berimpak pada rasa adil dan keadilan. Sesuai dengan tema tulisan saya pada hari ini bahwa berbuat adil memang sulit. Ini pendapat saya. Jika kita berbeda pendapat adalah hal yang wajar. Tentu saya memiliki alasan yang mendukung statemen saya mengatakan hal itu di atas. Tidak semua orang bisa berbuat adil baik bagi dirinya sendiri apalagi buat orang lain. Contoh jelas adalah diri saya sendiri. Saya tidak adil terhadap diri sendiri.

Dibawah ini adalah hal hal yang belum dapat saya perlakukan secara adil terhadap diri sendiri yang saya jabarkan dalam beberapa poin.
  1. Kebiasan Ngemil
    Ini adalah salah satu hal yang belum bisa saya lakukan dengan adil. Kebiasaan ngemil di malam hari seperti makan mie goreng ditambah lagi dengan segelas torabika susu yang biasa aku lakukan dalam beberapa minggu terakhir ini telah menyebabkan berat badan saya melorot jauh hingga ke angka 64 kilogram. Sungguh suatu "prestasi" yang tidak dapat saya banggakan untuk hal yang satu ini.

    Minggu lalu saat saya akan memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM) C saya di Polresta yang terletak di SIM Corner Matahari Mall, saya diharuskan membuat surat keterangan dokter. Surat keterangan dokter itulah syarat utama dalam perpanjangan SIM C, selain membayar biaya 75 ribu rupiah dan SIM C lama tentunya. Saat itu juga saya ngacir ke Kharitas, dan menemui Dokter di sana. Setelah pemeriksaan tensi darah dan ada wawancara kecil, saya dinyatakan sehat (Alhamdulillah). Saya pun "curhat" mengenai berat bada saya yang akhirnya diperoleh penjelasan dari dokter bahwa berat badan saya tidak baik dan saya diharuskan "mengejar" ke berat ideal 58 Kilogram untuk tinggi badan saya yang "hanya" 158 Cm ini.

  2. Mengejar Beasiswa
    Sudah saya canangkan sejak 5 (lima) tahun lalu keinginan untuk bertarung memperebutkan slot beasiswa Kuliah di Australia melalui program Beasiswa Endeavour namun sampai sekarang sampai berbuih buih mulut ini mengucapkan tetap saja belum terlaksana dengan semestinya. Test TOEFL atau IELTS yang merupakan salah satu syarat utama untuk penyeleksian program beasiswa itu juga belum dapat saya lakukan karena memang situasi (saat ini) memang belum memungkin. Saya sendiri tidak yakin belum memungkinkan dari segi apanya. Waktu? Uang?

    Menyoal soal Uang, memang ada masuk akalnya. Bayangkan untuk ujian TOEFL internasional saja dibutuhkan biaya tidak kurang dari 300 ribu rupiah, sedangkan untuk ujian IELTS harus mengambil tes di menara Imperium Jakarta. Untuk kota Pontianak sendiri memang sudah ada cabang yang sudah direkomendasikan sebagai penyelenggara IELTS namun biayanya juga bisa dibilang mahal untuk ukuran saya. Tes IELTS di kota Pontianak berbiaya tidak kurang dari 1,5 juta rupiah. Jumlah yang cukup besar untuk ukuran saya sekeluarga.
  3. Porsi Pekerjaan Yang Menyita
    Ini masih menyangkut pada bahasan poin 2 di atas berkenaab soal Waktu. Sejak dari hari senin sampai dengan Sabtu, praktis separuh hari saya dihabiskan di kantor. Sedangkan waktu untuk keluarga hanya tersisa 1 (satu) hari yakni ahad (minggu) . Namun hari ahad (minggu) pun juga kadang kadang tidak maksimal saya manfaatkan untuk keluarga. Undangan maupun urusan keluar kerap datang di hari minggu itu. Kerja bakti di RT sayalah, undangan nikah lah, sampai ada kunjungan teman atau kerabat di rumah kontrkaan kami di Duta Bandara.

    Apakah kami harus mengusir tamu yang berkunjung ke rumah kami di hari Minggu? Ya tentu saja tidak. Nah gambaran seperti inilah yang menyebabkan saya jadi berbuat tidak adil terhadap diri sendiri. Tidak banyak waktu terluang dari saya untuk memanjakan diri sendiri. Hadirnya 2 (dua) anak memang melengkapi kebahagiaan pernikahan kami yang sudah kami jalani sejak tahun 2005 lalu.

    Kebahagiaan yang juga tersimpan di dalamnya tanggung jawab merawat dan membesarkannya adalah satu paket dengan kebahagiaan itu. Kerepotan merawat dan membesarkan anak adalah hal termanis dan terindah bagi setiap keluarga. Begitu besarnya waktu yang tersita untuk pekerjaan dan keluarga memang sangat menyulitkan saya berbuat adil terhadap diri saya sendiri. Seperti yang sudah saya sebut di atas , tidak banyak waktu terluang dari saya untuk memanjakan diri sendiri.

Saya Masih Belajar
Kesalahan selalu saya buat setiap hari. Sudah banyak kekurangan dan kesalahan yang saya lakukan baik terhadap orang lain, maupun terhadap diri sendiri. Janji janji yang sudah saya ucapkan dalam hati untuk "menghadiahkan" diri ini dengan sejumlah aktifitas yang menyenangkan juga tidak kunjung segera saya laksanakan. Cita cita yang dulu terucap dalam hati sering tidak segera diimplementasikan. Begitu banyak kesalahan dan kekeliruan yang saya lakukan , jadi buat apa saya harus mengurus orang lain? Apakah saya kurang kerjaan sampai harus mengurus kesalahan orang lain sampai yang remeh dan kecil sekalipun?

Setiap orang tentu mempunyai kepentingannya masing masing. Tak terkecuali dengan diri saya sendiri. Secara jujur harus saya akui kalaw saya juga punya kepentingan. Nah kepentingan inilah yang menjadi pangkal kebuntuan selama ini. Perbedaan kepentingan sering menciptakan friksi serta jarak bagi terciptanya hubungan interpersonal yang harmonis.

Saya tidak perduli dengan kepentingan mereka apa karena toh saya tidak mempunyai otoritas, kekuasaan, wewenang untuk mencampuri kepentingan mereka. Saya hanyalah sebutir titik dari lautan pasir yang tidak ada artinya. Saya sadar saya ini siapa. Jadi sebenarnya mereka tidak perlu takut kalaw kepentingan saya mengancam kredibilitas mereka. Mereka bukan ancaman bagi saya, dan saya juga bukan ancaman bagi mereka. Kenapa pula ada rasa harus takut?

Jadi jika saya diremehkan orang tidak ada masalah buat saya. Saya sudah pusing dengan seabrek persoalan dan tetek bengek urusan keluarga yang lebih harus saya perhatikan ketimbang memikirkan orang lain. Saya tidak akan bergantung kepada mereka. Menjadi diri sendiri adalah hal yang amat menyenangkan. Tidak mengadopsi cara dan tingkah laku orang lain atau mencoba menyamakan diri dengan karakter orang lain lalu memiliki kepribadian ganda atau standar ganda (double standard-red). Ah saya ini siapa. Orang kecil saja. Beneran. Pangkat atau jabatan saja tidak punya.

Saya sudah merasakan sendiri betapa sulitnya saya berbuat adil terhadap diri sendiri. Saya sendiri masih belajar


Bandara Supadio Pontianak From Bali With Love Selfie Dengan Selebritis
| Copyright © 2013 Asep Haryono Personal Blog From Indonesia